MEDIAKAMPUS.INFO – Penelitian dari tim peneliti dosen Univeritas Islam Bandung (Unisba) meraih paten pertama bagi Unisba setelah memperoleh Sertifikat dan Dokumen Paten yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kemenkumham RI) beberapa waktu lalu. Tim peneliti yang diketuai DR. Ir. Mohamad Satori, MT., IPU., terdiri atas tiga orang dosen prodi Teknik Industri Unisba dan satu orang dari unsur bengkel, berhasil mempatenkan hasil penelitiannya dengan judul invensi “Sistem Pemanfaatan Residu Daur Ulang Sampah Sebagai Alternatif Energi Mesin Pencacah dengan Gasifikasi-Pirolisis Tertutup”.
Satori mengatakan, inovasi penelitiannya yang memperoleh Paten ini terkait dengan pengembangan energi alternatif dengan alat pengubah residu daur ulang sampah menjadi gas karena adanya fenomena daur ulang sampah yang selalu menghasilkan residu, baik sampah rumah tangga maupun sampah lainnya. “Materialnya tidak bisa didaur ulang, tidak bernilai ekonomis baik organik maupun anorganik. Itu fenomena yang awalnya saya amati sehingga saya berfikir bagaimana mengatasi hal ini,” ujarnya.
Dikatakannya, secara teori materialnya bisa dikonversi menjadi gas dengan fase padat menjadi gas dengan teknologi gasifikasi. “Sebetulnya mengawali inovasi ini saya mencoba mendalami bagaimana proses gasifikasi itu. Kemudian, material yang residu ternyata masih mengandung plastik sehingga saya padukan lagi dengan teori perolisis dan kami mendapatkan satu teknologi yang disebut dengan gasidikasi-pirolisis karena masih ada plastik yang bisa dikonversi menjadi gas dan minyak,” jelasnya.
Menurutnya, dari hasil penelitiannya yang merupakan hibah Dikti ini, selain menyelesaikan masalah residu yang bisa dimanfaatkan menjadi gas, solar yang dipergunakan sebagai bahan bakar untuk mesin cacah dengan subsitusi gas, dapat menghemat ± 70 – 80 persen pemakaiannya sehingga menghemat bahan bakar dan biaya operasional.
Disinggung soal paten yang diraih timnya, rasa syukur terus diutarakannya karena perjuangannya ditempuh dalam waktu cukup lama, dan membuahkan hasil memuaskan. “Penelitian ini kami laksanakan tahun 2012-2013. Saya ajukan di tahun berikutnya dan baru di tahun 2020 ini patennya keluar,” ungkapnya.
Dia mengungkapkan, pengajuan paten tersebut didasari atas undangan Kemenristekdikti (kini dikelola Kemendikbud) tahun 2014 yang menyatakan bahwa penelitiannya berpotensi mendapatkan paten. “Kemudian saya ikut pelatihan yang dilaksanakan beberapa hari oleh Kemenristekdikti. Saya juga didampingi untuk membuat draft paten, membuat legal drafting dan lainnya selama dua hari. Dari situ kemudian dilakukan proses pengajuan oleh Unisba yang ditandatangani ketua LPPM pada saat itu. Setelah itu prosesnya panjang dan memakan waktu,” katanya.
Diakuinya, pada proses pengajuan paten ini, timnya juga dibantu oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Unisba, khususnya Pusat HKI dalam menyempurnakan legal drafting yang diajukan kepada DJKI.
Satori berharap, penelitiannya dapat diimplementasikan di dunia nyata di bidang persampahan sehingga teknologinya dapat mengatasi masalah residu sampah dengan skala dan tempat tertentu. Selain itu, melalui paten ini juga dapat bermanfaat dan mengibarkan nama Unisba. Untuk itu Unisba harus segera memiliki lembaga inkubasi bisnis.
Sementara itu, Kepala Pusat HKI dan Inovasi Unisba, Hj.Tatty Aryani Ramli, S.H., M.H., mengatakan, LPPM Unisba melalui Pusat HKI terus melakukan sosialisasi, edukasi, dan pendampingan dosen-dosen peneliti dari prodi-prodi Science untuk terus mencoba mengajukan proposal penelitian yang berorientasi ‘Paten’.
Selain melakukan pendampingan secara internal, Pusat HKI juga secara aktif mengundang pihak-pihak yang berkompeten, seperti Direktur Paten dan Pemeriksa Paten untuk menjadi narasumber pada Coaching Clinic Paten, yang dilanjutkan dengan pendampingan menyusun deskripsi paten yang benar. “Saat ini hasil Coaching Clinic Paten yang sedang diajukan baik untuk Paten biasa maupun Paten sederhana sudah jauh meningkat dibandingkan sebelumnya,” jelasnya.
Selain itu, LPPM Unisba juga turut serta memfasilitasi semua supporting elemen untuk peneliti, dari sosialisasi pendampingan dan pendaftaran paten termasuk biaya-biayanya.
Pentingnya Paten Bagi Peneliti dan Lembaga
Pada kesempatan tersebut, Tatty juga menjelaskan bahwa paten adalah kekayaan yang tidak berwujud yang bisa memberikan manfaat ekonomi. Selain itu, paten juga merupakan hak khusus yang diberikan negara kepada inventor atas invensinya untuk selama waktu tertentu (20 tahun) secara monopoli mengelola haknya, baik oleh sendiri atau mengijinkan orang lain untuk melaksanakannya.
Paten juga, lanjutnya, berharganya seperti artikel ilmiah yang dipublikasikan di jurnal yang terindex scopus. “Bedanya, artikel/ tulisan yang dipublikasi tentang hasil penelitian, sedangkan paten, penelitiannya menghasilkan produk atau proses baru di bidang teknologi,” jelasnya.
Merujuk hal tersebut maka bagi lembaga, paten memiliki nilai 35 persen dari seluruh penilaian dalam akreditasi dan pemeringkatan Perguruan Tinggi. Sementara bagi dosen yang penelitiannya memperoleh paten, dapat memberikan manfaat sebagai pemegang paten untuk produk atau proses yang dihasilkannya dan dapat diajukan untuk meningkatkan Jabatan Fungsinal (Jafung). Di samping itu, Paten juga memberikan manfaat ekonomi karena peneliti secara eksklusif memproduksi sendiri atau mengijinkan pihak lain memproduksinya dengan imbalan royalti, bisa dijual dan bisa disewakan haknya.
Seorang peneliti jika ingin mendapatkan paten, lanjutnya, harus inovatif. “Penelitiannya harus mengajukan ide baru tentang penyelesaian masalah di bidang teknologi yang “something new sometihng better”. Jangan melakukan penelitian yang peneliti lain sudah lakukan,” ungkapnya.
Selain itu, idea dosen juga harus memiliki nilai kebaruan (novelty), mengandung langkah maju di bidang teknologi yang diteliti (inventive step) dan bisa diproduksi dunia industri (industrial applicable).
Berbagai kendala, tambahnya, akan dihadapi oleh peneliti dalam mengajukan paten. “Biasanya, kendala yang dihadapi adalah ketika peneliti merencanakan penelitian, sering menduplikasi yang sudah ada. Padahal meskipun terbuka, penelitian yang bermaksud untuk mengembangkan produk atau proses yang sudah ada tapi ya itu tadi harus memenuhi tiga unsur paten di atas. Caranya harus melakukan dulu “searching patent” sebelum mengajukan proposal, yaitu menelusuri prior of art (yang sudah lebih dulu). Jadi, penelitian yang diajukan wajib memiliki suatu kebaruan kalau disandingkan dengan peneliti-peneliti lain,” katanya.
Tatty menambahkan, para peneliti juga harus menyadari bahwa hasil penelitiannya dalam pemecahan masalah dan kebaruan produk atau prosesnya harus bersifat rahasia dan tidak boleh diungkapkan kecuali dalam forum-forum resmi. “Jadi sebaiknya tidak diungkapkan sebelum didaftarkan permohonan patennya. Peneliti yang tergesa-gesa melakukan publikasi atas hasil penelitiannya, kadang tidak sadar dia sudah mengungkapkan kepada publik dan ini berakibat penelitiannya sudah tidak baru lagi dan bisa jadi orang lain akan melakukan sedikit modifikasi dan lebih dulu mendaftarkan paten atas namanya. Peneliti juga perlu tahu mau memilih antara publikasi di jurnal atau didaftarkan patennya lebih dulu supaya masih terjaga unsur kebaruan dan yang paling dulu daftar,” paparnya.
Untuk mendapatkan paten berlaku sistem pendaftaran yang first to file yang artinya paten diberikan kepada mereka yang pertama kali mengajukan permohonan jadi adu cepat dengan peneliti lain. Permohonan diajukan kepada DJKI Kemenkumham RI, untuk diperiksa baik syarat formal maupun syarat substantif. Masa yang diperlukan minimal 36 bulan.
Dia memberikan trik dan tips agar penelitian dosen dapat memperoleh paten, yaitu penelitian untuk memperoleh paten tidak selalu harus yang spektakuler, lakukan searching paten dengan cermat sehingga peneliti bisa mengajukan kebaruan dari prior of art. Kemudian belajar membuat deskripsi paten, peneliti harus mempelajari cara membuat deskripsi paten, klaim dan abstrak yang sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (UU). Menurutnya, penolakan sebagian besar terjadi karena peneliti lemah dan tidak mengikuti instruksi baku yang ditentukan UU.
Dijelaskan bahwa persiapan yang harus dilakukan peneliti agar penelitiannya dapat diajukan untuk mendapatkan paten yaitu untuk selalu update perkembangan dunia keilmuan yang peneliti tekuni, kemudian lakukan pencarian paten sebelum meneliti. “Apabila belum mampu untuk paten biasa, bisa memulai dengan paten sederhana dulu yang syaratnya lebih sederhana,” pungkasnya. (fai)