Oleh Askurifai Baksin*
IDIOM ‘morfosis’ sejak di SD sudah sering saya dengar, seperti metamorfosis yaitu proses perkembangan biologi pada hewan yang melibatkan perubahan penampilan fisik dan/atau struktur setelah kelahiran atau penetasan. Juga fotomorfosis, yakni perubahan tampilan dari foto seseorang, misalnya sejak kecil, remaja, dewasa, hingga orangtua. Dan yang kini berkembang adalah mediamorfosis yang menurut Roger Fidler suatu proses transformasi atau adaptasi media. Mediamorfosis merupakan suatu media yang mengalami perubahan dari bentuk sebelumnya ke bentuk yang baru. Fidler menyebut ada tiga tahap mediamorfosis, yaitu media dengan bahasa lisan, bahasa tulisan, dan bahasa digital (media konvergensi).
Ketika berbicara mengenai suatu teknologi informasi yang tercipta, akan berhubungan dengan ide-ide baru serta seberapa besar waktu yang diperlukan bagi gagasan-gagasan baru tersebut untuk dapat diserap sebagai suatu budaya yang bersifat konstan. Paul Saffo menyatakan, setidaknya membutuhkan tiga dekade (The 30-year rule). Direktur Institute for the Future dari California ini membagi rumusannya mengenai waktu yang diperlukan menjadi tiga dekade, yakni dekade pertama, yang dipenuhi dengan perasaan bahagia dan kebingungan. Dekade kedua, di mana pada tahap ini ide atau gagasan sudah mulai muncul dan digunakan. Dan dekade ketiga adalah tahap di mana gagasan tidak hanya sekadar menjadi ide tetapi sudah menghasikan sesuatu yang dimiliki semua orang (www.komunikasi.us).
Konsepsi yang disebutkan Saffo ini mirip dengan proses parlemenmorfosis, hanya tahapannya tidak menggunakan rentang dekade tapi tahun. Teorinya, anggota dewan punya waktu berkuasa 5 tahun. Kalau merunut Saffo, saya membagi parlemenmorfosis menjadi tiga tahap juga. Tahap pertama dimulai saat dilantik hingga setahun pertama merupakan masa preconditioning sebagai anggota legislatif. Di tahun pertama ini mereka mulai beradaptasi dengan lingkungan sekretariat dewan (Sekwan). Juga mulai mengikuti secara aktif bimbingan teknis. Bagi anggota dewan yang sudah kedua kalinya biasanya bintek semacam ini kurang diapresiasi (karena sudah biasa). Pada morfosis pertama ini anggota legislatif dipenuhi dengan perasaan bahagia dan kebingungan. Bahagia karena sudah menjadi ‘anggota dewan terhormat’, tapi sekaligus ‘bingung’ karena masuk pada domain yang selama ini belum ditekuni (misalnya sebelumnya artis atau pengusaha).
Tahap berikutnya dihitung dari tahun kedua hingga ketiga. Mereka memasuki fase di mana ide atau gagasan sudah mulai muncul dan digunakan. Karena sudah sering mengikuti bintek, kajian, serta kunjungan kerja anggota dewan mulai merealisasikan gagasannya. Fase di sini sekaligus diiringi dengan habitus baru. Habitus merupakan naluri alamiah yang muncul karena lingkungan habitatnya. Karena sering mengkaji legislasi mereka akan terbiasa menghadapi fenomena yang ada dikaitkan dengan undang-undang. Maka dari mereka lahir perda-perda hasil kajian dan pengamatannya.
Habitus seperti ini cukup bagus. Namun ada juga habitus yang kurang positif. Misalnya menjaminkan SK anggota dewan kepada salah satu bank pemberi kredit dengan jumlah cicilan tidak lebih dari 75% dari jumlah gaji. Hebitus ini tentu membawa dampak penghasilannya dipotong tiap bulan. Karena dipotong selama menjadi anggota dewan harus mencari uang tambahan untuk menutupnya. Yang sering muncul akhirnya tidak sedikit mereka menjadi ‘calo proyek’ atau menjadi ‘agen proposal’. Habitus ini tentu tidak diharapkan karena akan memunculkan praktik gratifikasi. Banyak mantan anggota dewan kini mendekam di LP karena praktik gratifikasi. Nah, untuk habitus seperti ini sebaiknya dihindari karena akan menjadi bumerang. Apalagi bagi anggota dewan yang ingin mencalonkan lagi habitus rakus pasti akan memberangus.
Dan tahap ketiga terjadi pada tahun keempat dan kelima masa jabatan. Morfosis yang menurut Saffo merupakan tahap di mana gagasan tidak hanya sekadar menjadi ide tetapi sudah menghasikan sesuatu yang dimiliki semua orang. Tahap menjelang berakhirnya masa jabatan sebagai anggota dewan ini menurut saya sebagai barometer apakah seorang anggota dewan betul-betul membawa aspirasi rakyat atau hanya untuk kepentingan pribadi. Idealnya, sebagai wakil rakyat selama menjadi anggota legislatif mampu melaksanakan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Jadi, pada parlemenmorfosis ketiga mereka harus mampu menjalankan tiga fungsi tersebut dengan baik. Yang sering terjadi di akhir masa jabatan ada beberapa tupoksi mereka yang tidak dapat dipenuhi. Malah, di ujung mereka hanya sibuk menyiapkan pencalonan anggota legislatif berikutnya.
Menurut Bambang Wisono dari LKOD Bandung (Lembaga Kajian Otonomi Daerah) jika dikalkulasi, anggota dewan bekerja aktif hanya dalam waktu 2 tahun. Selebihnya kegiatan bintek, kunker, workshop, out bond, dan kajian dilakukannya hanya sebagai rutinitas. Uniknya, kegiatan ini jika dijumlah dilakukan selama tiga tahun. Jadi, kesimpulan menurut Bambang mereka bekerja untuk memenuhi morfosis kedua dan ketiga hanya selama dua tahun. Kondisi inilah yang membuat kinerja anggota legislatif cenderung kurang sangkil dan mangkus.
Analisis Bambang juga memberi kontribusi kepada tingkat golput pada Pileg 2014 kemarin. Sekalipun tokoh politik yang sering muncul di kayar kaca, tetap kinerja mereka kurang diapresiasi masyarakat sehingga kini konstituen tidak mau lagi menitipkan suaranya di tangan mereka. Mareka ‘memilih’ tidak memilih siapa pun. Dan pengalaman penulis sebagai anggota PPS di salah satu wlayah di Kabupaten Bandung sejumlah pemilih sengaja mengosongkan kartu suara. Tidak ada yang dipilih satu pun.
Parlemenmorfosis menurut saya akan selalu dialami oleh para anggota dewan, terutama yang baru memasuki praktik komunikasi politik. Tulisan ini merupakan apresiasi penulis yang selama ini mengamati habitus para legislatif sebagai penyelenggara Bintek anggota DPR. Tentu tidak berpretensi menghakimi para anggota dewan yang terhormat. Tulisan ini hanya sekadar pesan komunikasi politik untuk para caleg.
Parlemenmorfosis sama pentingnya seperti mediamorfosis. Karena anggota dewan merupakan ‘media’ rakyat yang diwakilinya. Mereka representasi dari konstituen masyarakat dapil yang sudah menitipkan suaranya agar dapat membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Jika saja kepemimpinan legislatif periode 2014-2019 menunjukkan parlemenmorfosis yang sesuai dengan konsepsi Saffo maka bisa jadi pileg mendatang akan jauh lebih berkualitas dengan tingginya tingkat partispasi masyarakat.*