*Askurifai Baksin
Identitas merupakan film satirikal Indonesia tentang kisah hidup orang-orang yang bingung dengan identitasnya (rilis 6 Agustus 2009) yang disutradarai Aria Kusumadewa. Film ini dibintangi antara lain oleh Tio Pakusadewo, Leony VH, Ray Sahetapy, Titi Sjuman, Otig Pakis, dan Teguh Esha.
Prestasi film Identitasmendapatkan sembilan nominasi dalam ajang Festival Film Indonesia 2009, memenangi empat di antaranya, termasuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik (Aria Kusumadewa), dan Aktor Terbaik (Tio Pakusadewo).
Film ‘Identitas’ besutan sutradara kondang Aria Kusumadewa. (foto: celebrity.okezone.com
Identitas menurut Stella Ting Toomey merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W Harry dan Kosmitzki Corinne melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan, dan sikap. Namun istilah identitas yang kini berkembang lebih ke aspek administrasi berupa KTP, keanggotaan organisasi, kebiasaan, hingga surat-surat tertentu. Peristiwa meninggalnya salah seorang penonton laga Persib dan Persija beberapa waktu lalu salah satunya karena perbedaan identitas. Haringga Surilla (alm) identitasnya pendukung Persija (Jakmania), sementara yang mengeroyok beridentitas pendukung Persib (Viking). Hanya karena perbedaan identitas musibah melayangnya seorang manusia harus terjadi.
Demikian juga menjelang Pemilu Raya orang-orang beramai-ramai mencari identitas. Seorang ASN berganti identitas karena ingin ‘nyaleg’. Anggota sebuah kesatuan juga rela mengganti identitas untuk pindah identitas. Jika dia lolos berubah identitas dari polisi menjadi anggota legislatif. Uniknya, beberapa anggota parlemen mau mengganti identitasnya dari anggota dewan menjadi ‘koruptor’. Setelah mendapat identitas baru ‘koruptor’ kini mereka berlomba lagi mendaftar menjadi calon anggota DPR karena peraturan membolehkan.
Saat penerimaan siswa baru orang berlomba membuat identitas. Orang berkecukupan minta identitas menjadi orang miskin dengan cara membuat SKTM (Surat Keterangan Tidak Mampu). Atau untuk kepentingan zonasi sebuah keluarga rela pindah rumah untuk sementara waktu hanya untuk mendapatkan identitas baru agar bisa diterima di sekolah tertentu. Demikian juga untuk bisa mencoblos pada Pemilu mendatang orang berjuang mendapatkan identitas berupa E-KTP yang penuh masalah.
Politik Identitas
Begitu pentingkah identitas? Identitas bisa jadi kunci suksesnya seseorang. Tapi bisa juga menjadi sumber bencana. Ketika warga dari pedagang bisa menjadi legislatif maka kedudukan dan penghormatannya berubah drastis. Semua berubah, dari gaya hidup, perilaku, kebiasaan, dan lainnnya. Tapi manakala seorang pencuri ayam ketahuan hidupnya pun bisa drastis. Jika digebukin massa bisa tewas. Kalau masuk tahanan akan menjadi beban keluarga karena untuk menjenguk pun keluarganya harus mengeluarkan sejumlah uang.
Di era milenial identitas seseorang tidak privasi lagi karena teknologi mereduksi identitas kita secara massif dalam bentuk data digital. Ketika seseorang akan menjadi members sebuah komunitas, atau mengajukan pinjaman, kredit, asuransi, dan lainnya semua identitas pribadi diserahkan kepada orang lain. Padahal identitas semacam ini sebatas keterangan diri. Berbeda dengan yang disebutkan Stella Ting Toomey. Karena perbedaan inilah kini berkembang pula istilah politik identitas.
Peneliti CSIS, Arya Fernandes meyakini, politik identitas tak bakal berkembang pada pemilu legislatif 2019. Menurutnya, ada sejumlah faktor yang membuat isu sensitif tersebut tak akan berkembang. Pertama, karena calegnya beragam. Para caleg di suatu daerah memiliki latar belakang identitas yang berbeda. Hal itu membuat para celag lebih berhati-hati dan berpikir ulang untuk menggunakan isu politik identitas. Kedua, adanya kontestasi yang ketat, tak hanya dengan caleg dari partai lain, namun juga dengan caleg satu partai. Hal ini akan membuat para caleg lebih memikirkan cara-cara strategis untuk mendapatkan simpati pemilih ketimbang melempar isu sensitif yang bisa merugikan diri sendiri. Ketiga, fragmentasi politik yang tinggi di tingkat lokal. Karena keberagaman politik lokal akan membuat para caleg lebih hati-hati melempar isu di kampanye. Keempat, migrasi suara. Meski ada migrasi suara pemilih dari pemilu sebelumnya, namun preferensi pemilih diyakini akan tetap sama. Misalnya, bila seorang pemilih parpol berlatar belakang nasionalis berpindah pilihan, yang dipilih juga tetap parpol dengan ideologi yang sama. Begitupun dengan pemilih parpol berbasis agama. Misalnya, caleg di satu daerah ternyata daerah itu basis parpol nasionalis maka ia akan hati-hati gunakan isu politik identitas.
Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyatakan, fenomena Pilkada Jakarta silam yang memainkan politik identitas untuk merenggut sebanyak-banyaknya suara pemilih di daerah perlu menjadi perhatian di Pilpres 2019 mendatang. Menurutnya, politik identitas itu harus diakui ada dan tidak usah dibayangkan hilang tapi kita imbau semua pihak jangan baper (bawa perasaan). Jimly meyakini politik identitas masih akan ada, hanya jangan baper karena di Amerika saja masih ada.
Di sisi lain, Jimly meminta kepada semua tokoh apalagi pejabat publik jangan menggunakan politik identitas untuk kepentingan politik praktis. Politik identitas sebagai bahasa terbuka di depan publik sebab semua pejabat publik itu jadi contoh, kemudian diikuti, jadi kita seharusnya menggunakan isu-isu dengan bahasa kebangsaan. (Kompas.com).
Jika identitas hanya sebatas kertas atau keterangan diri akan terjerumus menjadi alat perjuangan untuk mendapatkan kekuasaan secara linier. Tapi jika identitas merupakan refleksi diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis, dan proses sosialisasi akan mempribadi dan punya reputasi. Lantas apakah reputasi itu? Reputasi adalah apa yang diperkatakan orang tentang jenazah yang diantarnya. Jadi, identitas yang kita butuhkan adalah identitas yang punya reputasi. Tak sekadar keterangan diri secara kertasi.**