oleh: Kaka Dens Kuswandi
Jutaan informasi yang disajikan oleh AI (kecerdasan buatan) seperti ChatGPT, seringkali tampak begitu nyata, begitu meyakinkan. Kita terlena oleh kemudahan akses, oleh lautan data yang terbentang luas di hadapan kita. Informasi mengalir deras, membanjiri pancaindra kita, mengisi sendi-sendi kehidupan kita dengan kecepatan yang luar biasa.
Seolah-olah kita berdiri di tepi sungai yang deras, arus informasi menyeret kita tanpa bekas. ChatGPT, dengan algoritmanya yang rumit, telah dirancang untuk memberikan apa yang kita inginkan, apa yang kita cari. Bahkan tak sedikit yang mensejajarkan ChatGPT dengan Dewa yang tahu segalanya.
Padahal yang sesungguhnya terjadi ia belajar dari kebiasaan kita, dari jejak digital yang kita tinggalkan di dunia maya. Ia menyusun informasi sesuai dengan preferensi kita, menciptakan sebongkah informasi yang seolah tak lagi perlu untuk di validasi.
Kita perlu menyadari bahwa ChatGPT bukanlah dewa yang maha tahu. Ia hanyalah sebuah alat, sebuah mesin yang bekerja berdasarkan data-data manusia yang diberikan kepadanya.
Dan data tersebut seringkali tidak sempurna, bahkan bias. Setiap informasi yang manusia tulis di dunia maya dia anggap sebagai sumber data. Sedangkan kita tahu, tak semua orang yang menulis informasi di internet itu memiliki kreadibilitas. Tak semua jurnal-jurnal, karya-karya ilmiah yang di posting di dunia maya di tulis oleh seorang yang benar-benar pakar di bidangnya.
Anda bisa membayangkan, ChatGPT saja bisa melakukan kesalahan pada saat pengambilan dan pemrosesan data, lalu apakah kita akan percaya sepenuhnya dengan data-data yang di berikan ChatGPT kepada kita? Tentu saja kita tak boleh sebodoh itu bukan?
Mari kita buat analogi sederhana tentang cara kerja ChatGPT dalam memproses data.
Sekali lagi saya tekanankan, bahwa ChatGPT menjadikan data yang ada di dunia maya itu sebagai reverensinya, dia memvoting data atau tulisan yang ada di internet lalu menyimpulkannya berdasarkan hasil terbanyak.
Anda analogikan saja ChatGPT itu seperti seorang anak yang sangat rajin membaca banyak buku di perpustakaan raksasa (internet).
- Perpustakaan Raksasa: Internet adalah perpustakaan raksasa. Di dalamnya ada banyak sekali buku, majalah, koran, dan tulisan lainnya yang ada di banyak website termasuk status yang kamu tulis di Facebook, twitter dan sosial media lain, dia menganggapnya itu sebagai sumber data.
- Membaca Banyak Buku: ChatGPT “membaca” semua tulisan di internet itu. Dia memang tidak benar-benar membaca seperti kita, tapi dia memindai dan mencatat kata-kata dan bagaimana kata-kata itu biasanya digunakan bersama.
- Belajar Pola: Dengan membaca banyak sekali tulisan, ChatGPT belajar pola. Misalnya, dia belajar bahwa setelah kata “makan”, biasanya ada kata seperti “nasi”, “roti”, atau “buah”.
- Ditanya Sesuatu: Ketika kamu bertanya sesuatu pada ChatGPT, misalnya “Apa warna langit?”, dia akan mencari pola yang sudah dia pelajari. Dia tahu bahwa dalam banyak tulisan “langit” sering disebut “biru”.
- Memberikan Jawaban: Lalu, ChatGPT memberikan jawaban “biru” kepada anda.
Jadi, ChatGPT tidak benar-benar tahu arti kata “biru” seperti kita. Dia hanya tahu bahwa kata “biru” sering muncul bersama kata “langit” dalam banyak tulisan. Dia seperti anak yang sangat pintar meniru apa yang sudah dia baca.
Namun seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, bahwa ChatGPT bisa saja salah mengambil data, karena dia hanya belajar dengan cara mengambil data terbanyak yang orang tulis di internet.
Untuk pertanyaan-pertanyaan umum, mungkin ChatGPT masih bisa di jadikan referensi oleh kita, karena tidak mungkin ketika kita tanya apa warna daun pisang muda, lalu dia menjawab ungu. karena pasti di internet akan banyak tulisan yang mengatakan bahwa daun pisang yang masih mudah itu warnanya “hijau’.
Namun untuk hal-lah yang spesifik dan hal-hal yang sensitif dan juga krusial, sangat tidak bijak jika kita menanyakan kepada ChatGPT, lalu menjadikan jawaban dari ChatGPT tersebut sebagai satu-satunya sumber informasi.
Kita Buat Lagi Analogi Bagaimana ChatGPT Melakukan Kesalahan
Mari kita buat analogi sederhana tentang bagaimana ChatGPT bisa salah, dengan contoh 9 orang bodoh dan 1 profesor:
Kita analogikan internet sebagai perpustakaan raksasa yang berisi jutaan artikel di berbagai website
- 9 Website di tulis Orang Bodoh: Ada 9 website yang menulis artikel tentang cara menanam pohon mangga. Sayangnya, informasi di website-website ini salah. Misalnya, satu website menulis bahwa pohon mangga harus disiram dengan bensin, website lain menulis bahwa pohon mangga tumbuh di dalam air, dan seterusnya. Informasi ini tersebar dan mudah ditemukan di internet.
- 1 Website di tulis Profesor: Ada 1 website yang dikelola oleh ahli botani atau seorang profesor pertanian. Website ini berisi artikel yang benar dan akurat tentang cara menanam pohon mangga, berdasarkan penelitian dan pengalamannya bertahun-tahun.
Lalu ChatGPT menjelajahi internet, termasuk 10 website ini. Dia mengumpulkan informasi dari semua website tersebut tanpa bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Dia hanya menghitung seberapa sering informasi tertentu muncul.
Misalnya:
- Karena 9 website (yang salah) menulis bahwa pohon mangga harus disiram dengan bensin, ChatGPT “melihat” informasi ini muncul 9 kali.
- Informasi yang benar dari website ahli botani hanya muncul 1 kali.
Ketika kamu bertanya pada ChatGPT “Bagaimana cara menanam pohon mangga?“, dia akan memberikan jawaban berdasarkan informasi yang paling sering dia temukan, yaitu “Siram dengan bensin“.
Dia mungkin tidak akan memberikan informasi yang benar dari website ahli botani, karena informasi tersebut kalah banyak dibandingkan informasi yang salah.
Lalu apa Kesimpulannya?
ChatGPT tidak mengevaluasi kebenaran informasi. Dia hanya mengumpulkan dan menggabungkan informasi yang dia temukan di internet. Jika informasi yang salah lebih banyak dan lebih mudah ditemukan, ChatGPT cenderung akan memberikan informasi yang salah pula. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk selalu memverifikasi informasi dari ChatGPT dengan sumber yang kredibel.
Dengan analogi ini, diharapkan lebih mudah dipahami bagaimana ChatGPT bisa melakukan kesalahan meskipun dia memiliki akses ke informasi yang sangat banyak. Dia tidak memiliki kemampuan untuk membedakan fakta dan fiksi, keahlian dan kebodohan, dia hanya melihat frekuensi dan kuantitas, bukan fakta dan kualitas.
Panggilan bagi Akademisi dan Cendekiawan
Di era digital yang terus bergemuruh ini, informasi mengalir deras bagai sungai yang tak pernah kering. Sayangnya, tak semua air sungai itu jernih. Ada kalanya, keruhnya informasi menyesatkan, mengaburkan fakta, dan meracuni pikiran. Di tengah pusaran informasi yang tak terkendali ini, suara cendekia sangat perlu untuk di gaungkan.
Internet bagai ladang informasi. Di sana tumbuh berbagai macam tumbuhan, dari pohon-pohon pengetahuan yang kokoh hingga ilalang hoaks yang menyesatkan.
Kita, para akademisi, para peneliti, para pemikir, adalah penjaga gerbang pengetahuan. Jangan biarkan Ilmu yang kita miliki hanya menjadi tumpukan teori yang tersimpan di dalam laci.
Anda semua adalah obor penerang jalan bagi bangsa. Angkatlah pena Anda, lalu tulislah sesuatu, Pena kita adalah senjata ampuh untuk melawan kebodohan dan kesesatan informasi. Mulailah menulis di internet sekarang juga.
Mungkin ada yang bertanya, “Mengapa harus menulis di internet? Bukankah menulis jurnal ilmiah sudah cukup?” Tentu saja menulis jurnal ilmiah sangat penting. Namun, jangkauannya terbatas. Internet, dengan jaringannya yang mendunia, menawarkan panggung yang lebih luas untuk berbagi pengetahuan.
Di dunia maya, tulisan kita bisa dibaca oleh siapa saja, dari Sabang sampai Merauke, bahkan hingga mancanegara. Seorang siswa di pelosok desa bisa mengakses penelitian kita tentang energi terbarukan. Seorang ibu rumah tangga bisa belajar tentang kesehatan dari artikel yang kita tulis. Seorang pengusaha bisa mendapatkan ide-ide inovatif dari gagasan yang kita bagikan.
Menulis di internet bukanlah berarti mengorbankan kualitas keilmuan. Justru sebaliknya, kita bisa menyajikan informasi ilmiah dengan bahasa yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat awam. Kita bisa menjelaskan konsep-konsep rumit dengan analogi yang sederhana, tanpa menghilangkan esensi keilmuannya.
Mari kita analogikan: Ilmu pengetahuan adalah mata air yang jernih. Kita, para cendekia, adalah saluran-saluran yang mengalirkan air tersebut ke masyarakat. Jika saluran-saluran itu tersumbat, mata air itu akan percuma. Internet adalah saluran yang sangat efektif untuk mengalirkan mata air ilmu pengetahuan itu.
Jangan biarkan internet hanya dipenuhi oleh suara-suara sumbang yang menyesatkan. Mari kita ramaikan dunia maya dengan tulisan-tulisan yang mencerahkan, tulisan-tulisan yang membangun, tulisan-tulisan yang menyelamatkan bangsa dari kebodohan dan informasi yang salah.
Kita telah membahas bagaimana kecerdasan buatan, seperti ChatGPT, bekerja. Ia bagaikan seorang perangkum ulung, menyusun informasi dari berbagai sumber di internet. Namun, ia tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara intan dan kerikil, antara kebenaran dan kebohongan. Jika mayoritas informasi di internet berisi kekeliruan, maka ia pun akan menyajikannya sebagai sebuah “kebenaran”.
Lalu apa jadinya jika aliran informasi dari para akademisi, dari para cendekia terhenti? maka yang terjadi adalah perputaran informasi-informasi yang keliru akan terus menjadi konsumsi generasi penerus negeri.
Walaupun demikian, perkembangan teknologi tidak akan kita bisa cegah. Kita harus bisa menjadi penyeimbang di tengah pesatnya perkembangan teknologi informasi.
Oleh karena itu, saya secra pribadi mengajak para akademisi, para cendekiawan, para ahli di bidangnya masing-masing, untuk turun tangan. Tuliskanlah pengetahuan Anda di internet. Bagikanlah hasil penelitian Anda, gagasan Anda, pemikiran Anda, dalam bentuk artikel, blog, atau media daring lainnya.
Jangan biarkan rimba digital dipenuhi oleh suara-suara sumbang yang menyesatkan. Jangan biarkan kebohongan merajalela dan kebenaran terpinggirkan. Setiap kata yang Anda tulis, setiap informasi yang Anda bagikan, adalah sumbangsih berharga bagi bangsa ini.
Di tulis oleh: Kaka Dens Kuswandi , Sumber Link: https://id.densbrain.com/teknologi/jangan-mendawakan-chatgpt-antara-kecerdasan-dan-jebakan-informasi/densasia/2504/